KRITIK SASTRA DALAM
PUISI “AKU INGIN” KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO
AKU INGIN
Karya : Sapardi
Djoko Damono
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Puisi “Aku Ingin” merupakan salah satu dari sekian banyak karya puisi
yang telah diciptakan Sapardi. Puisi ini juga merupakan salah satu puisi yang
termuat dalam kumpulan puisi-puisi pilihan. Yang telah beliau jadikan satu
dalam antalogi puisinya yang bertajuk Hujan
Bulan Juni (Jakarta: Grasindo, 1994, 103 halaman). Meskipun setelah
antalogi itu, terbit pula antalogi puisi Sapardi Djoko Damono lainnya. Namun,
bagi beliau antalogi Hujan Bulan Juni
laksana mewakili tonggak kepenyairannya. Tambah lagi, di bawah judul itu
tertulis: pilihan sajak, yang mengisyaratkan bahwa antalogi itu memuat sejumlah
puisi pilihan. Artinya juga, ia telah melewati proses seleksi: pemilahan dan
pemilihan.
Jika mencermati perjalanan kepenyairan Sapardi Djoko Damono sejak awal
hingga kini, maka kita akan menemukan semacam kesadaran penyair atas
pemahamannya tentang “makhluk” yang bernama puisi. Baginya, puisi bukan sekedar
ekspesi perasaan dari suara hati yang terdalam, sebagaimana diyakini para
penyair romantis, melaikan pergulatan estetis dan tarik-menarik ruap perasaan
yang melimpah. Ia harus dikendalikan. Gejolak perasaan itu juga mesti
diintegrasikan dengan pemikiran, dengan kualitas intelek. Itulah kesadaran
kecendekiaan yang berhubungan dengan penguasaan seorang penyair atasapa yang
disebut bahasa kiasan. Dalam menulis puisi,
Sapardi memiliki kekhasan tersendiri untuk menciptakan karya dengan bahasa yang
ringan. Hal yang sama ia lakukan juga ketika menulis puisi "Aku
Ingin". Beliau menyampaikan curahan hati mengenai penyesalannya dengan
bahasa yang mudah dipahami, tidak ada diksi yang tidak lazim didalam puisinya.
Puisi ini seakan-akan bercerita tentang cinta tak sampai.
Pada bait pertama terdapat sajak yang berbunyi; “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana/Dengan kata yang tak sempat di ucapkan/Kayu kepada api yang menjadikannya abu//. Si “Aku” dalam sajak ini digambarkan sebagai seorang “ingin mencintai dengan sederhana”. Namun, dibalik segala kesederhanaan itu kita merasakan ada sesuatu yang tersimpan begitu dalam. Disana ada kedalaman makna yang entah apa. Berbagai perspektif dapat pula menganggap mencintai dengan sederhana itu sebagai seorang yang mencintai dengan tulus dan apa adanya, seseorang yang memberikan cintanya tanpa tanpa mengharapkan balasan. Namun, dapat pula sebaliknya. Bahwa untuk sebagian orang kata mencintai dengan sederhana itu sebenarnya mencintai dengan benar-benar tidak sesederhana itu, cara mencintai yang paling sulit bahkan mustahil untuk dilakukan. Disini keberagaman pendapat dalam menafsirkan makna mencintai dengan sederhana tentu berbeda-beda sesuai cara pandang pribadi setiap orang dalam mengartikannya. Tetapi, apa maknanya bagi kita ketika puisi itu sekedar berbicara tentang si “Aku” yang ingin mencintai dengan sederhana?
Sekarang mari kita cermati larik
berikutnya. Dengan kata yang tak sempat
diucapkan/Kayu kepada api yang menjadikannya tiada//. Ada penegasan makna “kata” dan “yang tak sempat diucapkan”
pada larik kedua ini, dimana makna “kata”
disini dapat diartikan sebagai sebuah keagungan/kekuatan cinta atau harapan si
“Aku” tadi atas dasar mencintai dengan sederhana itu, atau
dapat pula makna lain yang timbul dari kegelisahan si “Aku” ini akan suatu hal
yang ingin ia wujudkan. Berikutnya yang
tak sempat diucapkan, kalimat ini seakan menjadi hasil dari makna “kata” tersebut, makna kalimat ini dapat
berarti sebagai sebuah kegagalan, kekalahan, atau bahkan kematian. Dapat
dikatakan bahwa si “Aku” ini hendak
mengungkapkan sesuatu, akan tetapi “kata”
itu lebih dulu hilang harapanya oleh karena sesuatu yang membuatnya tak sempat
diucapkan. Berikunya Kayu kepada api yang
menjadikannya abu, Kalimat ini seakan menjadi gambaran yang menjelaskan
larik pertama dan larik kedua. “Kayu”
dan “api” disini dilukiskan
seakan-akan dalam sebuah konflik percintaan yang menghasilkan “abu”. Makna kayu dapat diartikan sebagai
sebuah batang pohon atau benda yang kokoh dan keras, akan tetapi ia mendapat
mendapat pengaruh dari sebuah api, dimana api memiliki sifat panas, dan jika
api tersebut berubah menjadi besar dapat meluapkan kobaran yang mendatangkan
malapetaka. Sama halnya pada sajak “dengan
kata yang tak sempat diucapkan”, kayu dan api ini menjadi perumpamaannya.
Sebelum kayu sempat mengungkapkan perasaannya ke api ia lebih dahulu jadi abu,
dengan kata lain cintanya tak sampai untuk diungkapkan.
Berikutnya pada bait kedua terdapat sajak yang berbunyi; Aku ingin mencintaimu dengan sederhana/Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan/Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada//. Pada larik pertama dibait kedua ini terdapat perulangan sajak yang sama dengan sajak dilarik pertama bait pertama, yaitu “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana”, makna yang dikandungnya pun sama. Namun di larik kedua pada bait kedua ini terdapat sajak yang berbeda. Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan, selain makna “kata”, juga terdapat makna “isyarat” yang lagi mengutarakan maksud si “Aku” dalam puisi ini. Kata “isyarat” tersirat menunjukkan bahwa si “Aku” memiliki sisi lain dalam caranya mengungkapkan sesuatu, terlepas dari kata atupun ucapan. kata “Isyarat” seakan menyampaikan sebuah tindakan si “Aku” yang hendak sampaikan namun sifatnya rahasia. Antara kata “sederhana” dan “isyarat” yang terdapat pada larik dibait kedua ini memiliki suatu kontras. Bahwa “mencintai dengan sederhana” yang dilukiskan sebagai sesuatu yang sifatnya apa adanya, tidak lebih dari sekedar arti pada umumnya atau bahkan sulit dilakukan bagi pribadi setiap orang, dipadu dengan makna “isyarat” yang dalam hal ini juga mengandung sebuah kegelisahan berupa rahasia dari si “Aku” ketika hendak mengungkapkan sesuatu terlepas dari kata-kata agar tidak ada siapapun yang mengetahui kehadirannya. Kedua problematika tersebut pada akhirnya membuat si “Aku” tak sempat menyampaikan isyarat atau rahasia yang dimilikinya.
Selanjutnya pada larik ketiga dibait kedua ini
terdapat sajak; Awan kepada hujan yang
menjadikannya tiada. Disini ada kata “Hujan”
dan juga “awan” yang lagi memiliki
makna kontras. Secara, awan yang sebelum bertemu dengan hujan akan memberi
kesan cerah disuasana langit entah pagi, siang, maupun sore hari. Sedangkan
“hujan” merupakan ekspresi yang dihasilkan dari awan tersebut setelah menerima
suatu sebab. Sajak ini dapat dimaknai sebagai suatu gejolak perasaan yang
kemudia menerima sebuah tekanan sehingga membuatnya menjadi tiada.
Terlepas dari hal-hal tentang penafsiran diatas, tentunya bukan
merupakan suatu kesimpulan secara utuh dalam menilik makna yang terkandung
dalam sajak-sajak puisi “Aku Ingin”
karya Sapardi Djoko Damono ini, Setiap orang, setiap pribadi tentunnya memiliki
cara pandang yang berbeda-beda dalam menafsirkan suatu hal, salah satunya
tergantung kondisi jiwa dan perasaan si pembaca.
Pembicaraan ini tentu saja baru menyentuh salah satu aspek dari karakteristik sebuah puisi. Masih tersimpan begitu banyak kekayaan lain, makna lain yang boleh jadi lebih kompleks dan problematis. Sapardi Djoko Damono tampak benar memahami segenap kata dan larik dari puisi yang dituliskannya. Dengan begitu, makin jelas bagi kita, bahwa menulis puisi bagi Sapardi Djoko Damono bukanlah sekedar menumpahkan segala perasaannya yang terpendam nun jauh dari lubuk hatinya yang terdalam, melainkan kerja kreativitas yang menuntut wawasan luas dan juga kecerdasan intelektual.
Puisi menjadi sesuatu yang dapat dirasakan dan pikirkan, sekaligus juga merangsang kualitas penalaran kita untuk coba memahaminya secara menyeluruh dan lengkap. Itulah kualitas puisi yang sebenar-benarnya puisi!
Kak tolong buatin puisi dong kak😁
BalasHapus